Oleh : Wira Saut Perianto Simanjuntak,SP (Penyuluh Kehutanan)
1. PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia menjadi pusat perhatian bukan saja di regional, bahkan sampai internasional. Kebakaran hutan ini meningkatkan suhu permukaan bumi dan mengancam pencairan suhu es di kutub utara. Berdasarkan kekhawatiran tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah menyusun kebijakan-kebijakan serta peratiran perundang-undangan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Berikut beberapa kebijakan dan peraturan yang ada di Indonesia mengenai kebakaran hutan dan lahan:
1.1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Psl 6(1): kewajiban memelihara kelestarian fungsi Lingkungan Hidup
Psl 25(1): sanksi administrasi-kewenangan gubernur/bupati/walikota memaksa penanggung jawab usaha utk mencegah/mengakhiri pelanggaran
Psl 41(1): sanksi sengaja merusak LH-penjara (max 10 th), denda (max Rp 500 jt)
Psl 42(1): sanksi alpa merusak LH- penjara (max 3 th), denda (max Rp 100jt)
Sanksi bersifat kumulatif, bukan alternatif
Tindakan tata tertib: perampasan keuntungan, penutupan perush., perbaikan, dll.
1.2 Undang-Undang Namor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan; kawas an hutan; dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama sert a penyakit (Pas al 47, ayat 1). Pemerintah rnengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan (Pasai 48, ayat 1).
1.3 UU No.18/2004 tentang Perkebunan
Psl. 25 (1): usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi LH
Psl. 26 : larangan membuka lahan dengan pembakaran
Psl. 48(1): pembakaran sengaja-penjara (max 10 th), denda (max Rp 10 milyar)
Psl. 49(1): lalai membakar-penjara (max 3 th), denda (max Rp 3 milyar)
Sanksi kumulatif
1.4 UU No.19/2004 tentang Kehutanan
– Psl. 47(a): Perlindungan hutan dan kawasan hutan.
– Psl 48(3): kewajiban pengelola hutan melindungi hutan
– Psl.50 (1): larangan merusak sarana/prasarana perlindungan hutan
– Psl. 78(3): sengaja : penjara (max 15 th), denda (max 5 milyar)
– Psl.50(3): lalai: penjara (max 5 th), denda (max1.5 milyar)
1.5 PP No.4/2001: Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran LH yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan
Ruang lingkup PP ini antara lain :
– Kriteria baku Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan Hidup dan kebakaran hutan dan lahan,
– Tata laksana Pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian,
– penanggulangan, dan
– Pemulihan Dampak
Peraturan Pemerintah ini memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
1.5 PP No.45/2004 tentang Perlindungan Hutan
Bab III: Ketentuan Umum, Pengendalian Kebakaran, Pencegahan, Pemadaman, Penanganan Pasca, Tanggung jawab pidana perdata
2. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DALAM PENGENDALIAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebijakan Kemeneterian Kehutanan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tiga yaitu :
1. Kelembagaan
2. Operasional, dan
3. Peningkatan Peran serta dan pemberdayaan masyarakat
Kebijakan tersebut sesuai dengan rencana startegis dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebakaran hutan.
1. Kelembagaan dan keorganisasian
Pasca kebakaran hutan besar tahun 1982/83 yang menghanguskan lebih kurang 3,2 juta ha hutan di Inndonesia, maka terbentuklah Departemen Kehutanan yang di dalamnya terdapat Seksi Kebakaran Hutan (Eselon IV) di bawah Sub Direktorat Pengamanan Hutan, Direktorat Perlindungan Hutan. Permasalahan kebakaran hutan kian hari terus meningkat, terbukti dengan kejadian kebakaran hutan tahun 1987, 1991, dan 1994. Pada tahun 1994, kemudian Departemen Kehutanan meningkatkan Seksi Kebakaran Hutan menjadi Sub Direktorat Kebakaran Hutan (Eselon III) di bawah Direktorat Perlindungan Hutan. Tahun 1994/1995 isu kebakaran hutan berkembang menjadi isu transboundary haze pollution, isu regional bahkan internasional. Atas kejadian itu dan mengingat diperlukan koordinasi yang lebih mantap maka dibentuklah secara bersama-sama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS) oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan BAPEDAL membentuk Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (TKNPKHL). Tahun itu pula maka mulailah dirancang pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA), Satuan Pelaksana (SATLAK). Secara bertahap terbentuklah organisasi non-structural tersebut di seluruh propinsi di Indonesia.
Tahun 2000, Departemen Kehutanan kembali menaikkan status organisasi kebakaran dari Sub Direktorat menjadi Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan (Eselon II). Sedangkan BAPEDAL juga meningkatkan organisasi pengelola kebakaran setingkat Eselon II. Tahun 2000, proses desentralisasi berjalan dan daerah mulai aktif membentuk organisasi-organisasi baru baik yang secara langsung menangani kebakaran hutan dan lahan atau secara implisit menyatu dalam job discripsinya (penjabaran pekerjaan).
Organisasi yang dibentuk tingkat nasional terdiri dari :
1. BAKORNAS-PB&P (UU No.24/2007)
2. PUSDALKARHUTNAS
3. PUSDALOPS (acuannya PP No.45/2004) dan Kep. Dirjen PHKA No.21/KPTS/DJ-IV/2002 Tahun 2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia
4. BMG, LAPAN,BPPT, Perg. Tinggi, BASARNAS, AU,,Proyek BLN, dll
5. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat nasional
Selain tingkat pusat, organisasi yang dibentuk untuk penanganan pengendalian kebakaran hutan tingkat propinsi seperti :
1. SATKORLAK-PB&P
2. PUSDALKARHUTLA
3. BAPEDALPROP
4. BRIGDALKARHUT
5. St.BMG,Perg. Tinggi, Tim SAR, AU, TNI/POLRI, LINMAS, Proyek BLN
6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat propinsi
Adapun untuk tingkat Kabupaten/Kota seperti :
1. SATLAK-PB&P
2. DAMKARHUTLA
3. BAPEDALKAB
4. BRIGDALKARHUT DAOPS
5. St.BMG,Perg. Tinggi, TNI/POLRI, LINMAS
6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kabupaten
Untuk Tingkat Kecamatan seperti :
1. SATGAS-PB&P
2. Regu Pemadam Kebakaran
3. Satgas Damkar lahan
4. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kecamatan
Gambar 1. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Kementerian Kehutanan
Pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa PUSDALOPS berada pada Eselon I PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam). Pusdalops merupakan eselon 2 dan mempunyai sekretariat. Brigdalkarhut berada di Unit Pelaksana Teknis PHKA yang berada di propinsi. Brigdalkarhut hanya ada di Balai/Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. Di bawah Brigadir Pengendalian Kebakaran Hutan ada Brigdalkarhut Daerah Operasi tertentu berdasarkan kabupaten dan berada di Seksi Konservasi Wilayah atau unit Taman Nasional.
Gambar 2. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Propinsi
Pengendalaian kebakaran hutan di Indonesia terdiri dari beberapa instansi yang berkepentingan. Sistem koordinasi sangat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan sehingga pengendalian terhadap kebakaran hutan dan lahan dapat lebih efektif dan efisien.
Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dapat dilihat pada gambar 3 berikut.
Berdasarkan kerangka sistem koordinasi pada gambar 3, dapat dijelaskan beberapa peranan lembaga yang dibentuk pada tingkat pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, sampai pada tingkat Kecamatan.
1. Tingkat Nasional
a. BAKORNAS-PB&P (Pusdalkarhutnas) :
Berfungsi untuk perumusan dan penetapan kebijakan yang cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
b. Dirjen PHKA
Berfungsi memegang komando sebagai Pusdalops di tingkat nasional bagi jajaran instansi kehutanan di daerah, khususnya Balai KSDA dan Balai Taman Nasional.
c. BMG
Berfungsi koordinator dalam menyebarluaskan informasi iklim dan cuaca, terutama prediksi musim kemarau dan kejadian El Nino
d. LAPAN
Berfungsi menyebarluaskan informasi hotspot baik jumlah maupun pola penyebarannya
e. BPPT
Berfungsi membangun Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambar 3. Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
f. Perguruan Tinggi
Berfungsi mengembangkan ipteks pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta berperan sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus kebakaran
g. BASARNAS
koordinator pada kebakaran hutan dan lahan meluas dan sulit dikendalikan oleh SDM di tingkat daerah
h. AURI
berperan pada saat kondisi kebakaran hutan dan lahan sulit dikendalikan dan memerlukan pemadaman dari udara dan pelaksanaan hujan buatan
i. BLN
bantuan peningkatan kapasitas SDM maupun bantuan teknis dan peralatan, sarana dan prasarana
2. Tingkat Daerah
a. Propinsi
• Gubernur
bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota (Pasal 27 PP No.4/2001)
• wakil gubernur
sebagai Kepala Pusdalkarhutla memegang kendali koordinasi antar para pihak terkait di daerah masing-masing.
• Bapedalda
menjadi Sekretariat Bersama untuk Pusdalkarhutla di daerah yang sekaligus di bawah koordinasi KLH
• Dinas Kehutanan/Perkebunan Provinsi :
Berfungsi berada di bawah komando Kepala Pusdalkarhutla Provinsi, dan melakukan koordinasi dengan perusahaan HPH/HTI maupun perkebunan dalam upaya pengendalian kebakaran
• BKSDA/BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur)
sebagai Kepala Brigdalkar (Manggala Agni) mengkoordinasikan kegiatan pengendalian kebakaran hutan di tingkat provinsi
b. Kabupaten
• Bupati sebagai Ka SATLAK PBP
Mengkoordinir unsur-unsur terkait di tingkat Kabupaten
• Bapedalkab
berkoordinasi dengan Bapedalda Provinsi dalam hal penyebarluasan informasi hotspot dan penanganan kasus-kasus kebakaran/pembakaran. Koordinasi juga dilakukan dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten
• Balai Taman Nasional
sebagai Daops (Daerah Operasi) mendapatkan komando langsung dari Dirjen PHKA dan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten dan BKSDA
Gambar 4. Mekanisme Koordinasi dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
3. Tingkat Masyarakat /Lapangan
a. Koordinasi di bawah komando Camat dibantu oleh Kades/lurah.
b. Satgas Damkar yang berasal dari unsur masyarakat, aparat kehutanan, dan perusahaan saling berkoordinasi terutaman dalam upaya mobilisasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan.
c. Masyarakat Peduli Api (MPA).
2. Operasional
Kebijakan Kementerian Kehutanan dalam bidang operasional pada dasarnya terdiri dari 3 aspek :
1. Pencegahan Kebakaran Hutan, seperti :
• Kampanye Penyadaran Masyarakat
• Peningkatan teknologi pencegahan seperti peringatan dan deteksi dini kebakaran hutan
• Pembangunan fisik pencegahan kebakaran hutan seperti embung, green belt, menara pengawas, dll.
• Pemantapan perangkat lunak
2. Pemadaman Kebakaran Hutan, seperti :
• Peningkatan teknologi pemadaman
• Operasi pemadaman (dini dan pemadaman lanjutan).
• Penyelamatan dan evakuasi
3. Penanganan Pasca Kebakaran Hutan, seperti :
• Monitoring, evaluasi dan inventarisasi hutan bekas kebakaran.
• Sosialisasi dan penegakan hukum
• Rehabilitasi
3. Peningkatan Peran serta dan Pemeberdayaan Masyarakat
Kebijakan terakhir dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan adalah peningkatan peran serta masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan. Masyarakat sekitar kawasan rawan kebakaran adalah komponen yang langsung berhadapan jika terjadi kebakaran hutan atau lahan. Mengingat pentingnya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, untuk itu kementerian kehutanan mempunyai kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melalui pembentukan keorganisasian berbasis masyarakat. Contoh keorganisasian yang berbasis masyarakat adalah Masyarakat Peduli Api, dan Kelompok Peduli Api. Hal melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.12/Menhut-II/2009 pasal 34 sampai dengan pasal 38 yang mengatur tentang Pemberdayaan Masyarakat dan peran serta masyarakat
Sumber : Diambil dari berbagai sumber